Oleh: Sahabudin Letsoin
Harga dari sebuah idealitas memanglah mahal, bahkan sampai pada level tak terhingga. Namun perlu kita garis bawahi bersama, idealitas itu dapat direalisasikan melalui langkah-langkah kecil, kerja-kerja nyata yang bersifat konsisten, berakumulasi, berefek domino. Menurut saya, seminimalnya terdapat dua jalan yang dapat ditempuh: radikal revolusioner dan diplomatis humanis. Di lain sisi, berkaca pada karakteristik ke-Indonesia-an, cara humanis menjadi rute paling tepat, dengan tetap melakukan pengawalan ketat terhadap berputarnya roda pemerintahan.
Sama rupanya menuju demokrasi berkeadilan, individu sebagai entitas paling kecil dalam sebuah negara memiliki kepekaan sosial, kemudian terpanggil, solid, dan tergerak bersama dalam sebuah aktivitas yang menjadi salah satu indikator utama dari demokrasi, adalah demonstrasi.
Di bagian ini, akan saya jelaskan terlebih dahulu konsepsi demonstrasi di era sekarang, merujuk pada pengamatan terhadap fenomenanya. Demonstrasi kini tergolong menjadi dua jenis berdasarkan ruang. Suara, ekspresi diri seseorang tidak lagi terbatas pada ruang real, bertatap langsung, tetapi teknologi memunculkan satu pendekatan baru yang itu saya namakan sebagai demonstrasi digital. Jadi kesimpulanya: demonstrasi dilakukan secara langsung dan melalui platform digital.
Kembali ke konteks gelombang demonstrasi di negeri kita, yang berlangsung mulai akhir Agustus sampai awal September 2025. Saya mencatat, setidaknya terdapat beberapa hal yang memunculkan kemuakan, kemarahan masyarakat: rencana kebijakan DPR RI yakni nominal tunjangan yang dianggap tinggi di tengah kesengsaraan rakyat; dan perilaku legislator-legislator baik dalam tindakan maupun kata-kata, berjoget-joget, dan buruk komunikasi publik sehingga menyinggung perasaan rakyat. Selain itu, topik klasik juga turut menjadi katalisator kepedulian masyarakat terhadap nasib bangsa, nasibnya sendiri, sebut saja pajak mencekik, dan RUU Perampasan Aset yang belum kunjung dibahas.
Gelombang demonstrasi berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia, dari kota-kota metropolitan sampai wilayah-wilayah kecil. Tentu, sentralnya berada di Jakarta. Suara demonstrasi besar-besaran tersebut akhirnya menghasilkan tuntutan terbaru, paling viral di media sosial adalah 17 + 8 tuntutan rakyat, yang kemudian diserahkan langsung kepada DPR RI. 17 + 8 Tuntutan Rakyat dirampingkan lagi menjadi Transparansi, Reformasi dan Empati. Angka 17 mewakili poin-poin tuntutan bersifat jangka pendek, dan angka 8 merupakan tuntutan-tuntutan untuk jangka panjang. Tujuan dari semua keresahan itu pada dasarnya ingin menyelesaikan persoalan kelembagaan yang menjadi aspirasi di awal, dan penyelesaian permasalahan temporal yang terjadi saat demonstrasi berlangsung.
Cukup variatif kejadian tercipta, paling membekas adalah tercatat jiwa-jiwa berpulang, banyak mendapatkan perawatan, tidak sedikit juga yang ditangkap pihak kepolisian. Ditambah lagi aksi-aksi anarkisme, pengrusakan fasilitas umum, yang masih menjadi perdebatan siapa sebenarnya dalang dibalik semua itu, plus adanya penjarahan. Kita menolak nyawa berjatuhan, pengrusakan Fasum, dan penjarahan. Di lain sisi berkenaan dengan pelanggaran hukum dalam demonstrasi perlu ditinjau lebih lanjut, dalam pengertian kepolisian mesti bekerja profesional, jangan asal tangkap, jangan asal hajar di lapangan: entah siapa pelakunya, kemudian siapa yang ditangkap, siapa yang terlibat, siapa yang dianiaya.
Semua sudah terjadi, maka sekarang pemerintah mesti menanggapi serius tuntutan rakyat, serius terhadap opportunity cost yang dikeluarkan demi demokrasi berkeadilan.
Lalu di mana letak opportunity cost itu?
Gerakan murni hadir dalam jiwa individu. Ketika individu memilih untuk turun berdemonstrasi, banyak kepentingan pribadi yang ditinggalkan, demi kepentingan umum. Mahasiswa yang mesti belajar di kelas, rela meninggalkan kelas untuk menyuarakan keadilan. Tukang ojek yang seharusnya menerima order penumpang, itu tidak dilakukan demi menyampaikan aspirasinya. Para buruh yang sepatutnya bekerja, datang ke jalan untuk menuntut haknya. Bayangkan berapa banyak individu yang ikut demonstrasi langsung, jika apa-apa yang mereka korbankan itu dikalkulasikan dalam bentuk nominal, berapakah nilai valuasinya? Namun bicara hati bukan perkara nominal.
Terpentingnya adalah, pemerintah mesti menanggapi serius tuntutan rakyat, serius terhadap opportunity cost yang rela dikeluarkan demi demokrasi berkeadilan.
Demokrasi berkeadilan dalam pandangan saya, puncaknya merujuk pada social justice. Apabila menurut Lincoln rakyatlah yang menjadi sentral dalam demokrasi, dan prinsip-prinsip bernegara kita mengamini demikian, maka jeritan hati rakyat mesti didengar, terutama oleh Wakilnya sendiri. Jangan semena-mena membuat kebijakan sesuai selera. Begitu pula eksekutif, ihwal pajak, tanah, tambang, nasib guru, wajib sesuai dengan aspirasi rakyat, kemudian betul-betul dilaksanakan.