
INTIMNEWS.COM, KASONGAN – Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Katingan menggelar rapat terbatas bersama sejumlah pemangku kepentingan pada Kamis (19/6/2025) untuk membahas usulan kelompok tani adat yang berkonflik dengan PT Sanur Hasta Mitra Bersama.
Pertemuan berlangsung di ruang sekretariat DAD Katingan dan dihadiri unsur pemerintah, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat.
Agenda resmi bertajuk Pembahasan Usulan Kelompok Tani Adat dengan PT Sanur Hasta Mitra Bersama itu menyoroti persoalan kejelasan kelompok masyarakat yang mengklaim pengelolaan lahan di wilayah konsesi hutan produksi tetap.
Salah satu kelompok yang mengajukan usulan adalah Kelompok Tani Antang Perkasa. Namun, hingga kini belum ditemukan dasar legalitas kelompok tersebut, baik dari sisi administrasi maupun pengakuan formal.
Perwakilan Dinas Pertanian Kabupaten Katingan menyampaikan bahwa kelompok tersebut belum terdaftar sebagai penerima program pertanian.
Satgas Penanganan Sengketa Lahan (PSL) DAD Katingan menanggapi temuan ini dengan menyatakan akan menelusuri data secara menyeluruh sebelum mengambil sikap.
“Kami tidak ingin terburu-buru. Semua klaim akan diperiksa terlebih dahulu secara menyeluruh agar tidak menimbulkan konflik baru,” ujar Ketua Satgas PSL DAD Katingan, Yakin P. Samat.
Satgas menyatakan akan melibatkan unsur TNI, Polri, pemerintah desa, dan perwakilan adat dalam proses verifikasi. Fokus utama adalah memastikan lokasi lahan yang diklaim dan menelusuri kemungkinan tumpang tindih kepentingan.
PT Sanur Hasta Mitra Bersama selaku pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) menyatakan komitmennya untuk bekerja sama.
Perusahaan menyebut sejumlah kelompok memang belum memiliki legalitas formal, tetapi menegaskan keterbukaannya untuk menyelesaikan persoalan secara bertahap.
“Selama datanya jelas dan berasal dari pihak yang sah, kami siap berkoordinasi,” kata perwakilan manajemen perusahaan.
Perusahaan juga menekankan pentingnya penegakan hukum di kawasan hutan. Aktivitas pertambangan ilegal maupun pembukaan kebun sawit tanpa izin dinilai sebagai pelanggaran serius.
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2013, pelanggaran terhadap kawasan hutan dapat diancam pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Satgas menyambut pernyataan perusahaan dengan sikap terbuka, tetapi tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Menurut Yakin, setiap pengakuan terhadap kelompok masyarakat adat harus melalui proses uji silang dokumen dan pengumpulan keterangan di lapangan.
Dalam rapat tersebut juga disepakati bahwa kelompok tani adat yang ingin memperoleh pengakuan harus melengkapi dokumen kelembagaan serta bersedia bekerja dalam kerangka hukum adat dan aturan negara.
“Harus clean and clear. Tidak bisa hanya berdasar pengakuan sepihak,” ujar seorang anggota DAD yang mengikuti pertemuan.
Hingga akhir rapat, belum ada keputusan final yang dihasilkan. Namun, forum tersebut menjadi langkah awal penting dalam menata ulang relasi antara masyarakat adat dan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan.
Kehadiran sejumlah pihak seperti Herdiayanto dari UPT KPHP Katingan Hulu, Mulihartawan dari Babinsa 06/TWG, serta tokoh adat seperti Sanggen Ture Kau dan Aprido Yusuf menunjukkan bahwa penanganan konflik ini menjadi kepentingan bersama.
Satgas DAD menegaskan, tugas mereka bukan untuk mencari siapa yang salah, melainkan memastikan bahwa proses penyelesaian berjalan adil, terbuka, dan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Penulis: Maulana Kawit