
INTIMNEWS.COM, KASONGAN – Tindak kriminal akibat konsumsi minuman keras (miras) kembali mencoreng wajah pemerintahan desa di Kabupaten Katingan. Seorang Kepala Desa di Tumbang Jala, Kecamatan Petak Malai, dilaporkan membacok tiga warganya dalam keadaan mabuk berat.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari Bupati Katingan, Saiful, yang menyerukan pembentukan regulasi yang lebih kuat untuk mengendalikan peredaran miras.
“Dengan mempertimbangkan tingginya angka kriminal yang disebabkan oleh miras, Pemerintah Kabupaten Katingan sangat perlu mengupayakan adanya peraturan khusus tentang miras,” tegas Saiful, Senin (9/6/2025).
Saiful menyebutkan bahwa peraturan daerah (Perda) tentang miras dapat menjadi landasan hukum yang kokoh untuk pengendalian di tingkat kabupaten, mengingat saat ini hanya terdapat aturan teknis dalam bentuk Perda retribusi dan Perbup pelaksanaannya.
Ia menekankan, tanpa Perda yang bersifat substantif, pemerintah daerah tidak punya taji untuk melakukan penindakan maksimal.
Saat ini, pengaturan miras di Kabupaten Katingan memang telah diatur dalam Perda Nomor 20 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, serta Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman.
Dalam regulasi tersebut, hanya minuman golongan A (kadar alkohol 1–5 persen) yang diperbolehkan beredar dengan izin khusus dari Bupati atau DPMPTSP. Minuman golongan B dan C (di atas 5 persen) dilarang. Penjualan juga dibatasi secara ketat, termasuk larangan menjual di dekat rumah ibadah, sekolah, pemukiman, serta kepada anak di bawah usia 21 tahun.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasi aturan tersebut belum efektif. Masih banyak miras beredar secara ilegal, termasuk minuman tradisional seperti baram yang seharusnya hanya digunakan untuk upacara adat.
“Perda yang lebih tegas bisa menekan angka kenakalan remaja dan mencegah kebodohan generasi muda akibat konsumsi alkohol,” lanjut Saiful.
Saiful juga mengakui bahwa mewujudkan Perda baru tidaklah mudah. Ia menekankan perlunya komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan yaitu DPRD, aparat hukum, tokoh adat, hingga masyarakat umum.
“Kita butuh dukungan dan kesepakatan bersama. Tidak bisa hanya pemerintah yang bergerak,” katanya.
Sanksi yang tercantum dalam aturan yang berlaku saat ini masih bersifat administratif, seperti pencabutan izin dan denda. Dalam Perda 2007, misalnya, distributor ilegal bisa dikenai sanksi 2 persen bunga per bulan dan pencabutan izin tempat usaha jika menyalahi ketentuan. Namun tidak ada ketentuan pidana yang cukup kuat untuk memberikan efek jera.
Dalam pandangan Saiful, regulasi yang hanya fokus pada retribusi tidak lagi relevan menghadapi situasi sosial yang makin kompleks.
Ia pun berharap, insiden di Petak Malai menjadi momentum untuk merevisi kebijakan dan memperluas ruang pengendalian sosial lewat hukum.
“Ini bukan sekadar soal izin usaha, tapi soal masa depan keamanan sosial masyarakat Katingan,” pungkasnya.
Penulis: Maulana Kawit