INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Tekanan terhadap perusahaan besar swasta (PBS) di sektor perkebunan kelapa sawit kembali menguat. Wakil Ketua I DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Juliansyah, menyoroti lambannya respons sejumlah perusahaan terhadap kewajiban penyediaan plasma 20 persen bagi masyarakat sekitar. Menurutnya, komitmen itu telah lama diatur dan ditegaskan kembali oleh pemerintah daerah, namun belum dijalankan secara merata.
Juliansyah mengungkapkan bahwa Pemkab Kotim sudah mengirimkan surat edaran terkait kewajiban tersebut lebih dari satu bulan lalu. Namun, hingga kini, hanya sebagian perusahaan yang memberikan jawaban dan menyatakan siap menjalankan kewajiban plasma. Sebagian lainnya belum merespons sama sekali, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan mereka mematuhi aturan.
Ia menilai kewajiban plasma bukan sekadar ketentuan administratif, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat yang terdampak operasional perkebunan. Tanpa realisasi yang jelas, manfaat ekonomi dari aktivitas PBS tidak akan pernah benar-benar dirasakan masyarakat lokal.
“Masih banyak perusahaan yang belum menjawab surat dari Bupati. Ini menunjukkan ada perusahaan yang belum menunjukkan iktikad baik,” ujar Juliansyah, Selasa 21 Oktober 2025.
Ia menegaskan DPRD akan mendukung langkah tegas pemerintah daerah bila perusahaan tetap abai.
Sikap keras terhadap PBS sebelumnya juga disampaikan Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran. Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat memimpin rapat terkait optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor perkebunan dan kehutanan di Palangka Raya, ia mengingatkan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma dan tidak meningkatkan program CSR dapat diminta menghentikan kegiatannya di Kalteng.
Agustiar juga menyoroti praktik perusahaan yang mengabaikan tenaga kerja lokal. Menurutnya, perusahaan yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lokal dalam akses pekerjaan telah mengabaikan prinsip keadilan dan tujuan utama beroperasinya investasi di daerah.
Juliansyah menyebut peringatan gubernur itu harus dibaca sebagai sinyal jelas bahwa pemerintah provinsi tidak lagi toleran terhadap perusahaan yang terus menunda pemenuhan kewajiban. “Ini bukan ancaman, melainkan penegasan. Perusahaan harus patuh,” katanya.
Dengan kuatnya desakan dari DPRD dan pemerintah provinsi, kini bola berada di tangan perusahaan. Publik, terutama masyarakat sekitar wilayah perkebunan, menanti langkah nyata yang selama ini hanya dipenuhi janji normatif dari sejumlah PBS.
Juliansyah menambahkan bahwa seluruh proses pemenuhan plasma harus dilakukan transparan dan sesuai aturan. Pemerintah daerah, menurutnya, harus mengawal setiap tahap mulai dari verifikasi lahan hingga pembagian hasil, agar tidak terjadi manipulasi atau pembatasan sepihak yang merugikan masyarakat.
Ia memastikan fokus pihaknya saat ini adalah memastikan realisasi kewajiban plasma 20 persen benar-benar berjalan, bukan hanya menjadi komitmen di atas kertas. “Yang kita ingin lihat adalah pelaksanaan di lapangan. Masyarakat Kotim berhak menerima manfaat langsung dari keberadaan perkebunan sawit,” tegasnya.
Editor: Andrian