website murah
website murah
website murah
website murah

Kalteng Dihadapkan pada Dilema Ekonomi Hijau dan Ketergantungan pada Sektor Ekstraktif

Plt. Sekda Kalteng, Leonard S. Ampung. (Ist)

INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tengah menghadapi dilema besar dalam arah pembangunan ekonominya. Di satu sisi, pemerintah daerah didorong untuk bertransformasi menuju ekonomi hijau (green economy) yang berkelanjutan.

Namun di sisi lain, perekonomian Kalteng masih sangat bergantung pada sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan, yang menjadi penopang utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalteng, Leonard S. Ampung, saat membuka Rapat Koordinasi Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Kalteng di Aula Bapperida, beberapa waktu lalu.

“Selama ini Kalteng mengandalkan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, serta pertambangan dan penggalian sebagai penyumbang PDRB yang signifikan,” ujar Leo.

Menurutnya, meski sektor-sektor tersebut telah menjadi penggerak utama ekonomi daerah, ketergantungan yang terlalu besar membuat Kalteng rentan terhadap guncangan eksternal.

“Ketika terjadi larangan ekspor, isu lingkungan dari Uni Eropa, atau fluktuasi harga komoditas, ekonomi Kalteng akan langsung terdampak dan berisiko mengalami kontraksi,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bahwa praktik ekonomi berbasis sumber daya alam selama ini masih menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Biaya pemulihan lahan dan mitigasi bencana ekologis, seperti banjir dan kebakaran hutan, sering kali menjadi beban pemerintah daerah.

“Ironisnya, pendapatan daerah dari sektor tersebut justru tidak selalu stabil. Dana Bagi Hasil (DBH) dari pusat bisa ditahan atau tidak disalurkan dengan alasan efisiensi,” ucapnya.

Sebagai daerah yang ditetapkan sebagai Pusat Konservasi Internasional, Kalteng kini memikul tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pemerintah daerah harus memenuhi berbagai indikator lingkungan, di antaranya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), Indeks Keanekaragaman Hayati, Indeks Ekonomi Hijau dan Biru, serta target nasional Net Zero Emission 2060 dan FOLU Net Sink 2030.

Sekda menilai, tantangan terbesar Kalteng ke depan adalah menemukan formula pembangunan yang tidak menimbulkan benturan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.

“Kita dihadapkan pada pilihan sulit: menggenjot pertumbuhan ekonomi dari sektor ekstraktif, tapi di saat yang sama harus memenuhi target pembangunan berkelanjutan,” katanya.

Ia pun mempertanyakan apakah keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan benar-benar bisa diwujudkan dalam praktik.

“Bisakah kita mewujudkan Kalteng sebagai lumbung pangan nasional sekaligus tetap menjadi Pusat Konservasi Internasional tanpa terjadi trade-off? Ini pertanyaan yang harus kita jawab bersama,” tuturnya.

Menurutnya, arah kebijakan pembangunan ke depan harus berpijak pada inovasi dan keberanian mengambil langkah transformatif agar Kalteng tidak terus bergantung pada komoditas alam mentah, tetapi mampu menciptakan nilai tambah melalui industri berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Keseimbangan antara ekonomi dan ekologi bukan pilihan, tapi keharusan. Jika tidak kita atur sekarang, maka generasi mendatanglah yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya.

Editor: Andrian

Berita Rekomendasi
Pasang Iklan