INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Rencana Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menggelar event balap motor di kawasan Taman Kota Sampit pada 13–14 Desember 2025 memicu penolakan luas dari masyarakat dan sejumlah tokoh publik.
Lokasi yang berdekatan dengan rumah ibadah, sekolah, fasilitas kesehatan, dan ruang aktivitas warga dinilai tidak layak dijadikan arena balapan. Kecaman mengalir karena kegiatan itu dianggap berpotensi mengacaukan kenyamanan publik dan mengabaikan fungsi sosial taman kota. Selasa, 11 November 2025.
Anggota DPRD Kotim, Hendra Sia, menjadi salah satu pihak yang paling lantang menolak. Menurutnya, penyelenggaraan kegiatan otomotif di jantung ruang publik kota tersebut menunjukkan lemahnya sensitivitas pemerintah daerah terhadap tata ruang dan kebutuhan warga.
Ia menegaskan bahwa taman kota memiliki peran sosial penting yang tidak boleh dikacaukan oleh event berisik dan menimbulkan risiko keselamatan.
Hendra menjelaskan, kawasan Taman Kota Sampit dikelilingi berbagai fasilitas vital yang beraktivitas sepanjang hari. Di wilayah itu terdapat Klinik Terapung Obor yang memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, sebuah gereja yang aktif beribadah pada akhir pekan, sekolah dasar, hingga taman kanak-kanak.
Selain itu, halaman belakang sekolah kerap digunakan sebagai jalur keluar-masuk anak didik. Kondisi tersebut membuat lokasi itu tidak masuk akal dijadikan sirkuit dadakan.
“Kami bukan menolak olahraga otomotifnya. Namun kegiatan seperti ini harus ditempatkan di lokasi yang benar-benar representatif, tidak mengganggu masyarakat, dan tidak berpotensi membahayakan,” ujar Hendra.
Ia menilai pemerintah daerah semestinya sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika event balap di kawasan pusat kota kerap memicu keluhan warga karena kebisingan dan penutupan akses.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Pengamat Kebijakan Publik, Ekonomi, dan Demokrasi, Eka Sazli, juga menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, penyelenggaraan balap di ruang publik seperti taman kota telah lama menjadi perdebatan dan kini sudah dianggap ketinggalan zaman.
Pemerintah daerah sesungguhnya telah memiliki sirkuit khusus untuk kegiatan otomotif, sehingga penggunaan taman kota sebagai arena balap tidak lagi relevan.
Eka menambahkan bahwa taman kota merupakan tempat penting bagi warga, terutama pada akhir pekan dan saat pelaksanaan car free day. Ruang publik tersebut menjadi lokasi olahraga, berkumpul, hingga aktivitas rekreasi keluarga.
Jika ditutup demi event balap motor, masyarakat otomatis kehilangan ruang geraknya. Ia juga mengingatkan bahwa kegiatan balap di lokasi tersebut berpotensi menggangu aktivitas gereja dan menghambat layanan kesehatan dari rumah sakit terapung yang beroperasi di sekitar area itu.
“Kita harus menjunjung tinggi toleransi dan kenyamanan bersama. Taman kota bukan ruang yang bisa diubah seenaknya hanya karena sebuah event yang sebenarnya bisa dipindahkan ke tempat yang lebih tepat,” tegas Eka.
Ia menilai pemerintah daerah semestinya menata pemanfaatan ruang publik secara lebih bijak, mengingat kebutuhan masyarakat terhadap ruang hijau semakin meningkat.
Penolakan serupa datang dari Komite Pemantau Kebijakan (KPK) melalui pernyataan Kherli, salah satu pengurusnya. Ia menegaskan bahwa rencana tersebut tidak hanya tidak tepat, tetapi juga mengabaikan keberadaan fasilitas yang telah disiapkan pemerintah sendiri.
Menurutnya, Kabupaten Kotim sudah memiliki Sirkuit Sahati yang dibangun menggunakan uang rakyat. Namun sirkuit tersebut mangkrak bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang jelas.
“Kegiatan balap semestinya dipusatkan di sirkuit, bukan taman kota. Pemerintah kabupaten sebaiknya fokus menyelesaikan Sirkuit Sahati terlebih dahulu, karena itu adalah aset publik yang dibiayai dari APBD,” ujar Kherli.
Ia menilai wajar jika masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memaksimalkan fasilitas olahraga yang sudah ada.
Lebih jauh, Kherli menyoroti aspek kenyamanan publik yang selama ini menjadi fungsi utama taman kota. Warga Kotim menggunakan ruang tersebut untuk berolahraga, bersantai, dan berkumpul tanpa gangguan. Jika area itu dialihfungsikan menjadi arena balap yang penuh kebisingan, maka kualitas ruang publik otomatis menurun dan masyarakat dirugikan. Selain itu, aktivitas rumah sakit terapung dan kegiatan keagamaan juga akan terdampak.
Menurut Kherli, penolakan terhadap event tersebut bukanlah bentuk antipati terhadap olahraga otomotif, tetapi upaya menjaga tata kelola ruang publik agar tetap mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Ia menegaskan bahwa idealnya pemerintah mengambil keputusan yang mengedepankan kenyamanan warga dan memprioritaskan fasilitas yang memang sudah dibuat untuk kegiatan balap.
Hingga kini, masyarakat menunggu sikap resmi pemerintah daerah terkait desakan penolakan itu. Sejumlah kalangan berharap Pemkab Kotim dapat meninjau ulang rencana tersebut dan lebih mempertimbangkan dampak sosial maupun lingkungan. Jika pemerintah ingin mendukung olahraga otomotif, langkah yang dinilai paling logis adalah mengaktifkan kembali sirkuit resmi yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. (Jmy)