INTIMNEWS.COM, SAMPIT – Dugaan kasus perundungan yang menimpa seorang siswa Sekolah Rakyat Kotawaringin Timur (Kotim) membuka persoalan baru terkait lemahnya pengawasan pada program pendidikan yang masih dalam tahap awal pelaksanaan. Komisi III DPRD Kotim meminta pemerintah daerah dan pengelola sekolah segera mengevaluasi sistem pembinaan agar siswa merasa aman dan terlindungi.
Anggota Komisi III DPRD Kotim, SP Lumban Gaol, menegaskan bahwa sekolah dengan konsep pembinaan khusus seperti Sekolah Rakyat membutuhkan kedisiplinan tinggi dalam pengawasan. Ia menilai kejadian dugaan perundungan itu justru menunjukkan bahwa pihak sekolah belum sepenuhnya siap menjalankan pola pendidikan yang berbeda dari sekolah umum.
“Terkait pemberitaan siswa Sekolah Rakyat yang diduga mengalami tindakan perundungan, kami meminta dinas terkait segera melakukan pengecekan lapangan. Sekolah dan pembina asrama harus lebih jeli membaca kondisi peserta didik,” ujar Gaol, Senin 20 Oktober 2025.
Gaol menambahkan bahwa Sekolah Rakyat merupakan program baru pemerintah yang digagas sebagai tempat pembentukan karakter dan kemandirian. Namun, tanpa pengawasan intensif dari guru dan pembina, tujuan itu dapat bergeser dan menimbulkan risiko seperti yang terjadi pada siswa berinisial P.
“Karena ini program baru, penerapannya harus sangat hati-hati. Jangan sampai kurangnya pengawasan justru memunculkan persoalan yang mencoreng tujuan sekolah,” katanya.
Ia juga menyoroti keberagaman latar belakang siswa yang datang dari berbagai daerah dan budaya. Kondisi itu menuntut pembina asrama dan guru memiliki pendekatan yang lebih sabar dan memahami karakter siswa secara individual.
“Di sinilah letak tantangannya. Anak-anak datang dengan kebiasaan yang berbeda. Guru dan pembina asrama harus menanamkan nilai kebersamaan dan saling menghargai sejak awal,” jelasnya.
Kasus dugaan perundungan ini mencuat setelah keluarga siswa berinisial P menyampaikan bahwa anak tersebut pulang dalam keadaan mata lebam dan mengaku dipukul teman sekelas. Peristiwa itu membuat P takut kembali ke sekolah dan memilih tinggal sementara bersama neneknya.
Pihak keluarga melalui tante korban, W, menyatakan bahwa kejadian tersebut meninggalkan trauma sehingga anak itu menolak kembali ke lingkungan sekolah. Mereka meminta pihak sekolah bertanggung jawab serta memberikan penanganan psikologis.
Sementara itu, Kepala Sekolah Rakyat Kotim, Nikhon Bhastari, tidak menampik adanya tanda-tanda perundungan. Ia menyebut pihaknya sedang menelusuri rekaman CCTV dan meminta keterangan pembina asrama untuk memastikan kronologi kejadian.
“Pendampingan guru sudah berjalan, namun kami akui perlu evaluasi lebih mendalam. Banyak siswa yang dititipkan berasal dari daerah berbeda, sehingga penyesuaian sosial perlu didampingi lebih intens,” katanya.
Kasus ini kini menjadi perhatian DPRD, keluarga, dan masyarakat. Evaluasi terhadap sistem pembinaan dinilai wajib dilakukan agar Sekolah Rakyat benar-benar mampu menjalankan tujuan awal: membentuk karakter siswa, bukan membiarkan mereka terjebak dalam lingkungan yang tidak aman.
Editor: Andrian