Oleh Ahmad Suhairi
Setiap tanggal 10 November, bangsa ini memperingati Hari Pahlawan. Banyak yang mengenang perjuangan para tokoh yang berjuang merebut kemerdekaan. Tapi bagiku, pahlawan bukan hanya mereka yang berperang dengan senjata. Pahlawan juga adalah ayah dan ibu. Dua sosok sederhana yang setiap hari berjuang tanpa tanda jasa, tanpa sorotan kamera, tanpa penghargaan.
Ayahku seorang buruh lepas. Ia tidak memiliki gaji bulanan, apalagi tunjangan. Penghasilannya tidak menentu, tergantung pada seberapa banyak pekerjaan yang datang hari itu.
Namun dari penghasilan yang pas-pasan itu, ayah selalu berusaha mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan, beliau mampu membiayai kuliahku, sesuatu yang dulu aku pikir mustahil. Setiap keringat yang menetes dari tubuhnya adalah bukti nyata kasih sayang yang tulus.
Ibuku adalah ibu rumah tangga yang penuh ketulusan. Ia suka berkebun di depan rumah tepatnya di pinggiran jalan desaku. Hasil kebunnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk makan kami sekeluarga. Kadang, ketika hasilnya berlebih, ibu menyisihkan sebagian untuk dikirim kepadaku yang sedang merantau menempuh pendidikan.
Jika musim hujan tiba, ibu tak segan turun ke parit untuk menyahar (mencari udang kecil) yang kemudian ia olah menjadi pekasam udang. Hasil olahannya dijual, dan dari situlah sering datang kiriman uang yang membantu kebutuhan kuliahku. Setiap rupiah dari ibu adalah hasil kerja keras yang bercampur doa.
Dulu, saat aku masih kecil, aku sering merasa orang tuaku keras. Kadang aku dimarahi, bahkan dipukul. Saat itu aku hanya melihat kemarahan, bukan kasih sayang di baliknya. Namun ketika aku dewasa dan menghadapi kerasnya kehidupan sendiri aku baru paham, didikan itulah yang membentukku menjadi kuat.
Aku belajar bahwa kasih sayang orang tua tidak selalu datang dalam bentuk pelukan, kadang ia hadir dalam tegasnya suara dan kerasnya tangan, karena di balik semua itu ada cinta yang ingin anaknya bertahan dan berhasil.
Yang paling membekas di hatiku adalah saat mereka memutuskan berhenti bertani. Mereka meninggalkan sawah yang sudah lama menjadi tumpuan keluarga, demi mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang lebih cepat. Semua dilakukan karena mereka memikirkan biaya kuliahku.
Aku tahu keputusan itu tidak mudah, tapi mereka rela menanggungnya agar aku punya masa depan yang lebih baik. Berkat doa dan pengorbanan mereka, aku pun akhirnya mendapat beasiswa. Aku tahu, itu bukan hanya hasil kerja keras, tapi juga keajaiban dari doa dua orang yang paling mencintaiku di dunia ini.
Hari ini, di Hari Pahlawan, aku ingin berkata dengan sepenuh hati:
“Ayah, Ibu, kalian adalah pahlawan sejati dalam hidupku. Kalian mungkin tak tercatat dalam sejarah bangsa, tapi kalian selalu hidup dalam sejarah hidupku.
Terima kasih untuk setiap keringat, setiap doa, setiap cinta yang tak pernah putus.
Aku bangga menjadi anak kalian. Aku cinta kalian, selamanya.”