website murah
website murah
website murah
website murah

23 Warga Seruyan Divonis 7 Bulan Penjara, Kuasa Hukum Sebut PT AKPL Beroperasi Tanpa HGU

INTIMNEWS.COM, KUALA PEMBUANG – Kasus sengketa lahan antara PT Agro Karya Prima Lestari (PT AKPL) dan warga Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, berujung pada vonis pidana bagi 23 warga.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit memutus para terdakwa bersalah karena dinilai telah memanen hasil perkebunan secara tidak sah.

Dalam amar putusan yang dibacakan pada 8 Oktober 2025, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama tujuh bulan kepada seluruh terdakwa. Mereka dinyatakan terbukti melanggar Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Hakim juga memerintahkan agar masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa dikurangkan dari total hukuman dan menetapkan mereka tetap berada dalam tahanan.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Seruyan menuntut 23 warga tersebut dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.

Meski begitu, fakta persidangan justru menunjukkan bahwa PT AKPL sendiri belum memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Fakta itu terungkap dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang dan dikonfirmasi oleh JPU yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan HGU perusahaan.

Kuasa hukum para terdakwa, Apriel H. Napitupulu, menilai perkara ini janggal. Menurutnya, jika perusahaan beroperasi tanpa HGU, maka aktivitas perkebunan PT AKPL justru berpotensi ilegal.

“Dengan tidak adanya plasma yang diberikan kepada masyarakat, sama saja PT AKPL menghina program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan melecehkan pemerintah daerah serta masyarakat,” ujarnya usai sidang.

Hal senada disampaikan tim kuasa hukum lainnya, Kariswan Pratama Jaya. Ia menyebut bahwa pertimbangan hukum majelis hakim sendiri menegaskan bahwa izin usaha perkebunan (IUP) PT AKPL belum berlaku efektif.

“Artinya, kegiatan perkebunan PT AKPL bisa dikategorikan ilegal karena beroperasi berdasarkan izin yang belum berlaku,” kata Kariswan.

Berdasarkan data persidangan, PT AKPL telah beroperasi sejak tahun 2007 dan memperbarui izin usahanya pada 2020.

Namun hingga kini, perusahaan tersebut belum memenuhi kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebesar 20 persen dari total luas areal, sebagaimana diatur dalam regulasi perkebunan.

Apriel yang juga menjabat sebagai Ketua Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) DPD Kalimantan Tengah menegaskan pihaknya akan membawa persoalan ini ke tingkat nasional.

“Kami akan kawal sampai ke DPR RI. Kami sudah berkoordinasi dengan DPP ARUN Pusat untuk mengusulkan rapat dengar pendapat terkait masalah plasma ini,” tegasnya.

Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Sampit, baik pihak terdakwa maupun jaksa menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum banding.

Kasus ini bermula ketika 27 warga ditangkap oleh jajaran Polda Kalimantan Tengah dan Polres Seruyan pada 7 Mei 2025 dalam operasi “Pekat Telabang”. Mereka dituduh melakukan penjarahan buah sawit milik PT AKPL.

Aparat juga mengamankan delapan unit kendaraan pikap berisi tandan buah segar (TBS), satu unit kendaraan kosong, delapan alat panen egrek, delapan tojok, dan satu cangkul sebagai barang bukti.

Dari total 27 orang yang ditangkap, 23 di antaranya kemudian disidangkan dengan nomor perkara 325 hingga 329, serta 333 dan 336/Pid.Sus/2025/PN Spt. Setelah melalui proses hukum panjang, seluruhnya dijatuhi hukuman penjara tujuh bulan.

Meski demikian, tim advokasi menyatakan akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat yang belum menerima kebun plasma dari PT AKPL. “Ini bukan hanya soal vonis, tapi soal keadilan dan pelaksanaan kewajiban perusahaan terhadap rakyat,” pungkas Apriel. (Rls/Andrian)

Berita Rekomendasi
Pasang Iklan