
INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Di ruang sidang Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kamis 19 Juni 2025, suasana mendadak tegang.
Pembacaan tuntutan dibacakan Penuntut Umum Robi Kurnia Wijaya didampingi Vijai Antonius Sipakkar dimulai dari terdakwa Apries Undrekulana. Dilanjutkan Ramang terakhir Risnaduar.
Ketiganya dituduh terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Gedung Olahraga (GOR) Tahap IV Kabupaten Katingan tahun anggaran 2023.
Namun persidangan tak hanya memunculkan tuduhan, tetapi juga sederet pertanyaan. Di tengah dakwaan jaksa yang menyebut negara dirugikan Rp541 juta akibat kelebihan bayar proyek, tak ada satu pun hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menguatkan angka itu.
BPK RI Perwakilan Kalimantan Tengah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Belanja Daerah Tahun 2022 dan 2023 (s.d. Triwulan III) pada 28 Desember 2023.
Intimnews.com memperoleh dokumen resmi tersebut pada 20 Juni 2025 melalui permintaan informasi publik. Dalam dokumen LHP Nomor 69/LHP/XIX.PAL/12/2023 itu, proyek GOR Tahap IV sama sekali tidak disebutkan.
Dari sembilan satuan kerja yang diuji petik, termasuk Disbudporapar, BPK hanya mencatat kelebihan volume pekerjaan dalam tiga proyek lain senilai Rp125 juta. Tidak ada temuan kerugian negara dalam proyek GOR.
Proyek GOR Tahap IV merupakan kelanjutan dari rangkaian pembangunan sarana olahraga bertaraf kabupaten yang dibangun secara bertahap. Proyek ini dikerjakan oleh CV Rungan Raya dengan kontrak berakhir 30 Desember 2023.
Tak seperti jaksa yang lantang menjerat, hasil laporan BPK justru berbeda. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Katingan Tahun 2023, proyek senilai Rp6 M lebih itu tak tercantum sama sekali.
Tidak sebagai temuan, tidak pula sebagai objek audit. Padahal, proyek itu sekarang menjadi perkara pidana yang menyeret tiga orang ke ruang sidang.
Di sisi lain, jaksa tetap yakin. Meski tanpa temuan dari BPK atau audit investigatif BPKP, mereka tetap menjerat Undre, Ramang, Risnaduar dengan Pasal 3 UU Tipikor, yang mensyaratkan adanya kerugian negara.
Sayangnya, yang digunakan jaksa sebagai dasar adalah Laporan Hasil Pemeriksaan Khusus (LHPK) Inspektorat, lembaga internal pemkab yang tidak memiliki kewenangan menentukan kerugian negara dalam konteks pidana.
Padahal, dua ahli yang dihadirkan di persidangan Dr. Rudy Indrawan dan Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad tegas menyatakan bahwa kerugian negara yang sah hanya bisa ditetapkan oleh lembaga audit eksternal seperti BPK atau BPKP.
Audit internal tidak dapat dijadikan dasar untuk menjerat pidana. Lebih jauh, dana yang disebut merugikan negara pun sudah dikembalikan ke kas daerah sebelum penyidikan dimulai.
Temuan bermula saat itu, progres pekerjaan baru mencapai 84,48 persen. Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) kemudian memutus kontrak secara sepihak.
Inspektorat Kabupaten Katingan turun tangan melakukan audit internal. Hasil audit menyebut adanya selisih progres fisik sekitar 8,94 persen atau setara Rp541 juta.
Rekomendasinya jelas, kontraktor harus mengembalikan kelebihan pembayaran dan dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist).
Namun yang mengembalikan bukan kontraktor. Adalah Risnaduar, mantan Kepala Disbudporapar saat itu, yang membayar uang kelebihan proyek ke kas daerah pada 18 Maret 2024. Saat itu, belum ada proses penyidikan pidana.
Penyidikan baru dimulai dua bulan kemudian, 15 Mei 2024. Fakta ini menjadi dasar argumen tim kuasa hukum terdakwa Ramang.
Jika uang sudah dikembalikan sebelum perkara masuk proses hukum, maka tidak ada lagi unsur kerugian negara.
“Kami melihat ini sebagai perkara administrasi yang ditarik paksa menjadi pidana,” kata Wikarya F. Dirun, pengacara Ramang.
Menurut dua ahli yang dihadirkan dalam persidangan Dr. Rudy Indrawan dan Prof. Dr. H.M. Hadin Muhjad hasil audit Inspektorat tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan kerugian negara dalam konteks pidana.
“Dalam hukum pidana, kerugian negara harus ditetapkan oleh BPK atau BPKP melalui audit investigatif, bukan hanya audit internal,” kata Hadin Muhjad di persidangan.
Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki pandangan berbeda. Dalam tanggapannya, JPU Robi Kurnia Wijaya dan Vijai Antonius Sipakkar menegaskan bahwa meskipun uang dikembalikan, proses hukum tetap sah berjalan berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Tipikor.
“Pasal 4 menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Fakta pengembalian bukan alasan untuk menghentikan proses,” ujar Vijai.
Jaksa juga meyakini bahwa proses penyelidikan sebenarnya sudah dimulai sejak 24 Januari 2024. Artinya, meskipun sprindik baru terbit pada Mei, penyelidikan telah berjalan saat pengembalian dilakukan. Berdasarkan penilaian itu, mereka menyusun tuntutan pidana bagi para terdakwa.
Namun polemik tak berhenti di situ. Di ruang sidang, terjadi perdebatan lain soal konsistensi tuntutan. Dalam berkas tertulis, Risnaduar dituntut tiga tahun penjara.
Namun saat dibacakan di persidangan, jaksa hanya menyebut satu tahun sembilan bulan. Perbedaan ini sempat dipertanyakan majelis hakim.
“Itu hanya kesalahan ketik, yang berlaku adalah tuntutan lisan,” ujar Robi Kurnia Wijaya, menjawab pertanyaan wartawan.
Yang mengundang perhatian adalah peran Risnaduar sebagai aktor utama dalam pengembalian dana. Ia mengaku menerima uang Rp300 juta dan membagikannya kepada sejumlah pihak, termasuk Rp125 juta yang disebut diberikan kepada mantan Bupati Katingan, Sakariyas. Namun sampai saat ini, tidak ada proses penyidikan terhadap nama tersebut.
Jaksa menilai pengakuan Risnaduar tidak cukup untuk menjadi alat bukti menyeret pihak lain. Tapi di sisi lain, keterangan yang sama cukup untuk menjerat Ramang, yang disebut menerima Rp25 juta tanpa bukti tambahan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang standar pembuktian yang digunakan jaksa.
Ramang membantah keras menerima uang itu. Ia juga mengaku telah dua kali mengajukan pengunduran diri dari jabatan PPK karena merasa tidak memiliki kompetensi.
Dalam sidang, ia menyebut pekerjaan proyek ditangani oleh tim teknis, dan ia hanya mengoordinasikan sesuai prosedur pengadaan.
“Saya tidak pernah meminta jabatan ini. Tapi tetap ditunjuk karena tidak ada pilihan lain,” ucapnya.
Ia juga mengeluhkan proses pemeriksaan pada Jumat 24 Januari 2025 saat diperiksa di Lapas Palangka Raya, ia mengaku tidak diberi kesempatan makan dan salat. Bahkan ia menuding isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah diubah tanpa sepengetahuannya.
Majelis hakim mendengarkan semua pembelaan itu. Namun proses belum selesai.
Pada 3 Juli 2025 nanti, ketiga terdakwa akan membacakan nota pembelaan atau pledoi. Setelah itu, jaksa akan menyampaikan replik, dilanjutkan dengan duplik dari penasihat hukum, sebelum vonis dijatuhkan.
Di luar sidang, keluarga terdakwa masih rutin membesuk. Salah satu istri terdakwa datang tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ia membawa makanan dan kabar dari rumah. Tapi yang paling penting keyakinan bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan.
“Saya percaya hukum masih punya nurani,” ucapnya lirih.
Perkara ini menyisakan satu pertanyaan besar, jika lembaga resmi negara tidak menyatakan ada kerugian, apakah kita masih pantas menghukum atas dasar tafsir semata?
Ruang untuk Hak Jawab
Redaksi INTIMNEWS.com telah mengirimkan surat resmi kepada Kejaksaan Negeri Katingan pada 28 Mei 2025 untuk meminta tanggapan terkait fakta-fakta yang muncul di persidangan.
Dalam persidangan terungkap pengakuan terdakwa Risnaduar bahwa ia menerima Rp300 juta dari proyek GOR dan menyerahkan Rp125 juta kepada mantan Bupati Katingan, Sakariyas. Pengakuan itu disampaikan langsung di hadapan majelis hakim.
Namun hingga kini, Kejaksaan belum mengambil langkah apapun terhadap nama-nama yang disebut. Tidak ada pemanggilan, tidak ada penyidikan. Bahkan, BAP yang menyebut nama Sakariyas dikabarkan hilang dari berkas persidangan.
Menanti Putusan, Menimbang Keadilan
Dalam persidangan GOR Katingan Tahap IV, Jaksa Penuntut Umum memilih tidak meneruskan dakwaan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang mensyaratkan pembuktian adanya kerugian negara dan niat jahat secara terang.
Sebaliknya, jaksa berpaling ke Pasal 3, pasal yang lebih lentur dan lebih sering menghasilkan putusan ringan, bahkan bebas, dalam praktik peradilan korupsi di Indonesia.
Dalih jaksa, ada penyalahgunaan jabatan. Dasar pembuktiannya, adanya kelebihan pembayaran proyek dan sikap para terdakwa selama persidangan. Ramang dinilai berbelit-belit, Risnaduar dianggap kooperatif. Tapi keduanya dijerat pasal yang sama, meski peran dan pengakuan sangat berbeda.
Bagi publik yang mencermati, penerapan Pasal 3 ini tak ubahnya strategi kompromistis. Tidak cukup bukti untuk Pasal 2, tapi enggan menghentikan perkara. Maka jalan tengah dipilih, tetap lanjut dengan pasal yang memungkinkan ruang interpretasi lebih besar.
Apakah ini bentuk kehati-hatian jaksa? Atau sinyal bahwa perkara ini memang disusun untuk lemah sejak awal?
Pertanyaan itu menggantung menjelang pembacaan pledoi pada 3 Juli 2025 mendatang.
Tak semua perkara harus diakhiri dengan vonis berat. Kadang, keadilan cukup diwujudkan dengan keberanian untuk membedakan mana kekeliruan, mana kejahatan. Semoga hakim mampu melihat itu dengan jernih.
Laporan Investigasi Intimnews.com tentang Rangkaian Proyek GOR Tahap IV dan Kontroversi Penegakan Hukum di Katingan
(Maulana Kawit)