Oleh: Sahabudin Letsoin
Kongres adalah Struktur Kekuasaan Tertinggi di HMI, sebagai tempat pengambilan keputusan strategis yang diterapkan untuk mengatur HMI secara kelembagaan dan personal kader HMI di seluruh muka bumi.
Semenjak agenda akbar Himpunan Mahasiswa Islam ini dibuka oleh Presiden Joko Widodo tanggal 24 November lalu, forum Kongres berlangsung abnormal. Fenomena ini memunculkan tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi selama Kongres berlangsung? Di mana makna kata yang disematkan bahwa HMI adalah gudangnya konsep? Rumahnya para intelektual muslim? HMI itu semangatnya adalah iman,ilmu dan amal, benarkah?
Saya mencermati, Kongres HMI yang ke-32 di Pontianak berjalan dalam kenihilan nilai, dan tanpa harga diri. Tercermin dari pergolakan recehan yang selalu terjadi, berulang-ulang kali. Sebut saja chaos yang katanya bagian daripada dinamika forum anak-anak muda. Menurut saya itu hanya alibi semata oleh para singa forum yang ompong itu. Konfrontasi kosong yang terus-terusan terjadi menggambarkan secara gamblang kondisi HMI sekarang: oase yang hampir tandus seutuhnya dari intelektual dan moral.
Saya ingin mengajak kita semua berpetualang ke Kongres masa lalu, bukan untuk menikmati romantisme kejayaan para senior terdahulu, tapi untuk menampar wajah kita yang semakin kusut dan lesu. Barangkali dengan tamparan itu, wajah kita kembali memerah, segar dan bergairah pada yang hanief bermodalkan iman, ilmu dan amal yang selalu kita gaungkan di mana-mana.
Pertama saya ingin menyampaikan asumsi liar, bahwa mayoritas para pengurus cabang yang berangkat ke Pontianak tak membawa bekal gagasan sama sekali. Barangkali ada yang mempersiapkan itu, tapi bisa dikatakan jumlahnya sedikit. Wong yang diintrupsi itu untuk serang-menyerang yang tak substansial: skorsing forum dan kesalahan teknis yang manusiawi. Itu saja yang diperdebatkan.
Kita semua menginginkan Kongres berjalan nyaris mendekati ideal, namun pengurus cabang juga harus sadar diri, tujuan utama mereka ke Kongres adalah untuk bermusyawarah, bukan menguras energi untuk membangun kongsi perkandidatan. Jangan hanya mengkritisi dan menolak LPJ PB HMI, tapi tanyakan dalam diri, apa yang kami bawa untuk memperbaiki HMI? Kalau sekedar mengkritisi PB HMI, pengurus Komisariat jauh lebih oke, sebab kritikan mereka pasti kompeten tanpa tendensi politik manapun.
Senior-senior terdahulu kalau berkongres, sangat bergizi isinya. Banyak sekali gagasan yang mereka bawa. Jangankan Kongres, diskusi biasa saja mereka bangun secara ilmiah, dengan menyusun makalah. Dari makalah ini yang kemudian mereka jadikan sebagai buku. Jadi sebelum Kongres, ada naskah-naskah yang mereka sudah siapkan, lewat lokakarya-lokakarya yang digarap secara serius. Semisal Pedoman Perkaderan HMI, terakhir yang digunakan adalah hasil lokakarya 2015, semua orang perkaderan pasti bersepakat itu sudah ketinggalan zaman.
Memang Lokakarya Perkaderan HMI kembali diadakan 2023 awal, namun Bidang PA PB HMI dan Ketua Umum PB HMI tak serius merampungkan drafnya untuk dibahas di Kongres. Terakhir saya dengar, Kongres diskorsing di Sidang Komisi karena muncul dinamika omong-kosong oleh para singa ompong. PB HMI tak serius, ditambah lagi forum yang berjalan tanpa gagasan itu, membuat saya selaku kader menjadi pesimis, apa yang bisa kita harapkan dari Kongres edisi kali ini.
Kongres tanpa politik gagasan bukan hanya terbentuk karena nihilnya bekal para pengurus cabang. Ternyata di tubuh para kandidat pun demikian. Dibanding Kongres di Pontianak, saya lebih mengapresiasi Kongres di Surabaya, di mana ketika itu para kandidat dengan senang hati beradu gagasan jauh-jauh hari sebelum Kongres dimulai. Mereka menerima dengan tangan terbuka, undangan yang datang dari media HMI. Kandidat-kandidat sekarang minim kontribusi, alih-alih ada yang muncul menjadi penulis dadakan. Padahal sebelum Kongres, selama berHMI, tak punya karya berupa buku. Jurnal yang dipersyaratkan sebagai salah satu kriteria menjadi kandidat kebanyakan mentok pada Jurnal Sinta 5. Kalau kata seorang dosenku, Profesor A, Sinta 5 itu jurnal yang kurang berguna. Masa iya sekelas Calon Ketum PB HMI berkutat akademiknya di Jurnal Sinta 5. Para kandidat ini sebelum berangkat ke Pontianak, mereka secara ramai-ramai menandatangani Pakta Integritas, tapi nyatanya mereka tak punya integritas. Buktinya, Kongres sampai sekarang belum juga selesai.
Saya hanya ingin mengangkat satu studi kasus, terkait perumusan dan pengesahan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. NDP HMI yang komprehensif itu tak langsung diselesaikan dalam satu edisi Kongres, namun ada selang waktu, 1969 ke 1971, dari Malang ke Palembang. Politik gagasan sangat kuat terbangun, antara gerbong Yogyakarta, dan koalisi Jakarta-Jawa Barat. Tokoh-tokohnya tentu saja Nurcholish Madjid, Endang Saefudin Ansori, Sakib Mahmud, Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan lain-lain.
Terakhir, kader HMI seluruh Indonesia sedang menantikan Ketua Umum PB HMI yang baru, suka atau tak suka, mereka tetap menunggu. Kongres jangan terlalu berlarut-larut: untuk penyelenggara, demisioner, peserta dan kandidat, sebab itu akan mendegradasikan marwah Kongres ini sampai pada angka yang minus. (**)