
Opini: Maman Wiharja (Jurnalis Senior di Kalteng)
Memang patut dicatat sebagai sejarah, Timnas Indonesia menutup laga terakhir di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia Grup C dengan kekalahan telak 0-6 dari Jepang. Laga ini berlangsung di Stadion Kota Suita, Osaka, Jepang—negara yang sering dijuluki Negeri Sakura.
Namun, pengamatan saya sebagai jurnalis bukan melihat ini sebagai kekalahan Indonesia. Justru ini adalah kekalahan Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI.
Tak bisa dipungkiri, sejak Erick Thohir memimpin Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), ada banyak kemajuan signifikan. Nama Indonesia pun mulai diperhitungkan di kancah persepakbolaan internasional. Prestasi demi prestasi berhasil dicetak.
Namun geliat perubahan ini, menurut saya, cenderung ambisius. Dalam istilah warga Kalimantan Tengah, ‘kelajuan’—bergerak terlalu cepat dan penuh gairah. Seakan yang penting Timnas bisa tampil di Kualifikasi Piala Dunia 2026, tanpa menimbang akar sepak bola nasional yang sesungguhnya.
Erick memang layak diacungi jempol. Timnas berhasil menutup fase grup dengan koleksi 12 poin, hasil dari 3 kemenangan, 3 imbang, dan 4 kekalahan. Pencapaian itu menjadi sejarah baru bagi Indonesia.
Sayangnya, pencapaian itu banyak digerakkan oleh keringat pemain naturalisasi. Mereka diklaim tidak dibayar, tapi itu bukan inti persoalan. Bagi saya, penggunaan pemain naturalisasi dalam Timnas telah melanggar semangat kebangsaan.
Ini bertentangan dengan pidato Presiden Prabowo yang kerap menyerukan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. “Bangsa Indonesia harus berdiri di atas kaki kita sendiri,” kata Presiden dalam berbagai kesempatan.
Lalu, mengapa PSSI di bawah Erick justru merekrut pemain asing? Bahkan saat pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran, mereka malah memberi hadiah jam tangan mewah seperti Rolex yang harganya setara mobil bekas. Latihan melawan Jepang pun digelar di Bali.
Isu pemain asing ini bukan hal baru. Di level klub pun, praktik ini sudah jamak. Misalnya striker Persib Bandung, Ciro Alves, konon digaji Rp583 juta per bulan, belum termasuk fasilitas lainnya. Sulit dipercaya jika pemain Timnas naturalisasi tidak digaji sama sekali.
Menurut saya, kegagalan melawan Jepang juga bersumber dari keputusan-keputusan strategis PSSI yang terlalu ambisius, tanpa mempertimbangkan filosofi “nasional” yang melekat pada Timnas.
Ada ironi besar di sini. Di satu sisi, pemerintah mendorong nasionalisme dan kemandirian. Tapi di sisi lain, PSSI justru menunjukkan ketergantungan pada kekuatan asing. Lalu, nilai apa yang sedang kita perjuangkan sebenarnya?
Mengapa para senior PSSI bungkam atas keputusan merekrut pemain asing? Mengapa para pengamat pun memilih diam? Apakah mereka takut terhadap kekuasaan dan tekanan dari Erick Thohir?
Indonesia adalah bangsa besar dengan ratusan suku dan potensi luar biasa dalam dunia sepak bola. Daripada uang rakyat dihamburkan untuk ambisi jangka pendek, lebih baik PSSI membangun Sekolah Teknik Sepak Bola Indonesia (STSBI) secara serius.
Itulah jalan panjang yang seharusnya kita tempuh, demi membangun kekuatan sepak bola nasional yang sejati. Wassalam.