
INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Tiga terdakwa duduk pasrah di kursi pesakitan. Suasana ruang sidang Pengadilan Tipikor Palangka Raya, 19 Juni 2025, menegang saat Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan.
Satu per satu nama dipanggil dimulai dari Apries Undrekulana, Ramang dan Risnaduar. Tiga terdakwa perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Gedung Olahraga (GOR) Tahap IV Katingan Tahun Anggaran 2023.
Pembacaan tuntutan dibacakan Penuntut Umum Robi Kurnia Wijaya didampingi Vijai Antonius Sipakkar dimulai dari terdakwa Apries Undrekulana. Dilanjutkan Ramang terakhir Risnaduar.
Tapi dari ketegangan itu, muncul banyak pertanyaan. Jaksa menyatakan ketiganya tak terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1, namun tetap menjerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apries dan Ramang dituntut hukuman sama dua tahun enam bulan penjara. Risnaduar, yang justru mengaku menerima uang terbesar, hanya dituntut satu tahun sembilan bulan. Jaksa menyebut alasan keringanan itu karena sikap sopan.
Tak hanya publik yang terkejut. Majelis hakim pun mempertanyakan isi berkas tuntutan tertulis yang berbeda dengan tuntutan lisan. Di dokumen, Risnaduar dituntut tiga tahun. Di pengadilan, hanya satu tahun sembilan bulan. “Salah ketik,”
“Tuntutan sudah sebagaimana yang kami bacakan, dan memang ada perbedaan antara peran dan pengembaliannya,” ucapnya Robi Kurnia Wijaya dihadapan Wartawan usai persidangan.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait tuntutan yang dibacakan JPU ke terdakwa Risnaduar apakah 1 Tahun 9 Bulan atau 3 Tahun. Dia menegaskan sesuai dengan yang dibacakan.
“Terkait kesalahan penulisan, itu kan biasa terjadi. Dan sebagaimana majelis Hakim tadi sampaikan bahwa yang dibacakan itulah yang digunakan, dan tidak perlu lagi diperdebatkan,” terangnya dengan santai.
Namun perkara ini tak sesederhana kesalahan ketik. Dalam persidangan, Risnaduar mengakui menerima uang Rp300 juta.
Ia bahkan menyebutkan sebagian uang itu diserahkan kepada mantan Bupati Katingan, Sakariyas, sebesar Rp125 juta. Nama itu ia sebut terang-terangan di hadapan majelis hakim.
Namun anehnya, hingga kini, nama Sakariyas tak muncul di dakwaan. Ia tak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan.
Pengakuan Risnaduar pun tidak ditindaklanjuti. JPU menyebut pengakuan satu orang tak cukup untuk menjadi bukti.
Kontras dengan sikap jaksa terhadap Ramang. Ia dituding menerima uang Rp25 juta hanya berdasarkan keterangan Risnaduar.
Tak ada bukti lain, tak ada saksi lain. Tapi jaksa tetap yakin. Ramang pun dibebani uang pengganti.
“Ini lucu dan ganjil,” ujar pengacara Ramang, Wikarya F. Dirun.
Menurutnya, konstruksi hukum perkara ini rapuh. Tidak ada kerugian negara, karena uang kelebihan pembayaran proyek senilai Rp541 juta itu sudah dikembalikan oleh Risnaduar sebelum penyidikan dimulai.
Ia menunjukkan, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru diterbitkan pada 15 Mei 2024, sedangkan uang dikembalikan pada 18 Maret.
Pakar hukum pidana Dr. Rudy Indrawan dan administrasi Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad yang dihadirkan dalam persidangan juga menyebut, temuan Inspektorat tak bisa dijadikan dasar kerugian negara. Lembaga itu bersifat internal.
Namun penegak hukum berpikir lain. Jaksa menyusun dakwaan berdasarkan hasil audit Inspektorat dan keterangan satu saksi. Padahal, semestinya syarat pembuktian pidana lebih kuat. Terlebih, dalam perkara suap sekalipun, satu saksi tak cukup untuk menghukum seseorang.
Ketimpangan lain juga tampak dari alasan tuntutan. Risnaduar dituntut ringan karena “bersikap sopan” selama persidangan. Sementara Ramang dibebani pidana tambahan karena disebut “berbelit-belit.”
Penasihat hukum menyebut ini asumsi jaksa semata. “Terdakwa tidak mengaku karena memang tidak merasa melakukan,” ujar Wikarya.
Yang jadi ironi, Risnaduar justru menyebut uang yang ia terima sebagian besar digunakan untuk pihak lain, termasuk bupati.
Publik pun bertanya-tanya, mengapa pengakuan yang memberatkan Ramang cukup dijadikan dasar, tapi pengakuan yang menyebut nama atasan justru diabaikan?
Kasus ini membuka tabir persoalan lebih besar, bagaimana kerugian negara ditafsirkan dan siapa yang benar-benar bertanggung jawab? Apakah kelebihan bayar dalam proyek harus otomatis dipidana, meski uang sudah dikembalikan dan tanpa bukti kerugian nyata?
Di luar ruang sidang, ketiga terdakwa menjalani hari-hari berat di Rutan Palangka Raya. Setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu mereka menanti keluarga datang membesuk. Di balik jeruji Blok D, mereka masih berharap vonis nanti bisa menghadirkan keadilan. Bukan hanya hukuman.
“Saya tidak mengerti hukum, tapi saya percaya semua yang bekerja atas nama negara masih punya nurani,” kata istri salah satu terdakwa dengan mata berkaca.
Perjalanan Kasus GOR Katingan di Pengadilan Tipikor Palangka Raya
Temuan Inspektorat dan Fakta Keterlambatan Proyek
Dalam sidang sebelumnya pada 23 April 2025, JPU Robi Kurnia Wijaya dan Vijai Antonius Sipakkar menghadirkan empat saksi dari Inspektorat Kabupaten Katingan: Hadian Sosilo, Lili M. Sholihudin, Purwo Aprianto, dan Mugeni.
Audit khusus terhadap proyek GOR dilakukan setelah adanya permintaan sanksi daftar hitam terhadap kontraktor, CV. Rungan Raya. Hasil audit tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Khusus (LHPK) Nomor 700/03/LHP-K/INSP/2024 tertanggal 29 Februari 2024. Proyek dinyatakan sebagai kontrak kritis karena keterlambatan signifikan.
PPK telah mengirimkan tiga surat teguran dan mengadakan tiga kali Show Cause Meeting (SCM). Namun, kontraktor gagal mencapai target progres fisik. Saat kontrak berakhir pada 30 Desember 2023, progres baru mencapai 84,48 persen, dan proyek diputus secara sepihak.
Pemeriksaan lapangan pada 24 Januari 2024 mencatat selisih progres fisik sebesar 8,94 persen atau setara Rp541.942.800. Inspektorat merekomendasikan dua hal: mencantumkan CV. Rungan Raya dalam daftar hitam, dan mengembalikan kelebihan pembayaran ke kas daerah.
Pembayaran Dilakukan oleh Pihak Lain
Hal yang menarik terungkap di persidangan: kelebihan pembayaran sebesar Rp541 juta dikembalikan ke kas daerah oleh Mantan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporbudpar) Risnaduar pada 18 Maret 2024, bukan oleh kontraktor sebagaimana direkomendasikan Inspektorat.
Meski demikian, Inspektorat mengonfirmasi bahwa pengembalian diterima secara resmi.
Kuasa hukum Ramang menilai fakta ini menunjukkan penyelesaian administratif yang mendahului proses penyidikan yang baru dimulai pada 15 Mei 2024.
Namun, jaksa menilai bahwa proses penyelidikan telah dimulai sejak 24 Januari 2024, dan pengembalian dana tidak menggugurkan proses pidana.
Ramang: Dipaksa Jadi PPK, Sudah Dua Kali Mundur
Ramang menyampaikan bahwa ia sebenarnya dua kali mengajukan pengunduran diri sebelum proyek dimulai. Ia merasa tidak memiliki kompetensi memadai, namun tetap ditunjuk karena hanya ada dua pejabat bersertifikat PPK di dinasnya.
“Saya tidak pernah meminta jabatan ini. Saya malah mundur dua kali, tapi tetap ditunjuk kembali karena hanya dua orang yang memenuhi syarat,” ungkap Ramang di hadapan majelis hakim.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaksanaan proyek dibantu oleh tim teknis, seperti PPTK dan konsultan perencanaan serta pengawasan.
Persoalan muncul ketika Inspektorat dan konsultan pengawas mencatat progres yang berbeda: konsultan mencatat 84,48 persen (termasuk material on site), sedangkan Inspektorat mencatat 75,54 persen.
Ramang Akui Tekanan dalam Proses Pemeriksaan
Selain menjelaskan teknis proyek, Ramang juga menyinggung proses pemeriksaan yang dianggap tidak manusiawi. Ia mengaku tidak diberi kesempatan makan atau salat saat diperiksa di Lapas Palangka Raya pada Jumat, 24 Januari 2025. Bahkan, ia mengklaim bahwa isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah diubah tanpa sepengetahuannya.
“Yang tertulis dalam BAP bukan sepenuhnya pernyataan saya,” tegas Ramang.
Ahli Hukum: Tidak Ada Kerugian Negara Jika Dana Sudah Dikembalikan
Saksi ahli Dr. Rudy Indrawan menegaskan bahwa jika kelebihan pembayaran telah dikembalikan sebelum proses hukum berjalan, maka tidak ada dasar untuk menetapkan adanya kerugian negara secara pidana.
“Kalau sudah dikembalikan sesuai rekomendasi audit internal, di mana letak kerugiannya?” ujar Rudy dalam persidangan.
Senada dengan itu, Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad menekankan bahwa audit yang dilakukan oleh Inspektorat atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) tidak dapat dijadikan dasar penetapan kerugian negara dalam konteks hukum pidana.
Menurutnya, kerugian negara secara hukum hanya dapat ditetapkan melalui audit investigatif oleh lembaga resmi seperti BPK atau BPKP.
“Kalau sudah dikembalikan sesuai hasil audit Inspektorat, maka tidak bisa disebut sebagai kerugian negara dalam konteks pidana,” tegas Hadin.
Ia juga menambahkan, satu-satunya pengecualian adalah jika terdapat audit investigatif baru yang secara sah menyatakan adanya kerugian negara. Tanpa itu, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk membawa kasus ini ke ranah pidana.
“Kecuali ada audit yang baru dan menyatakan secara sah bahwa terjadi kerugian negara, barulah bisa menjadi dasar hukum pidana,” pungkasnya.
PPK Tidak Berwenang Menentukan Pemenang Lelang, Fokus pada Pengendalian Kontrak
Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad menjelaskan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak memiliki kewenangan untuk menentukan pemenang lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021.
Menurut Hadin, tugas utama PPK adalah memastikan pengendalian dan pelaksanaan kontrak berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Wewenang PPK adalah memastikan pengendalian kontrak berjalan dengan semestinya. Terkait penilaian teknis, PPK memang dapat menggunakan jasa konsultan pengawas, dan hal itu dibenarkan oleh aturan,” jelasnya.
Dalam konteks perkara GOR Katingan, laporan dari konsultan pengawas menunjukkan bahwa terdapat keterlambatan progres pekerjaan.
Menindaklanjuti hal itu, PPK telah melaksanakan prosedur pengendalian kontrak dengan memberikan peringatan kepada penyedia jasa.
PPK juga telah menggelar dua kali Show Cause Meeting (SCM), namun penyedia tidak menunjukkan perbaikan progres dan tidak mengindahkan peringatan tersebut. Karena itu, PPK mengeluarkan surat rekomendasi pemutusan kontrak dan pengusulan daftar hitam (blacklist) terhadap penyedia.
“Tugas PPK adalah mengendalikan kontrak. Bila ditemukan pekerjaan tidak sesuai kontrak, maka diberikan peringatan. Jika tidak diindahkan, bisa dilakukan pemutusan kontrak. Artinya, PPK sudah menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai aturan,” tegas Hadin.
Jaksa: Proses Sudah Sesuai, Unsur Pidana Tetap Kuat
Jaksa Vijai Antonius Sipakkar menegaskan bahwa pengembalian dana setelah proses penyelidikan dimulai tidak menghapus unsur pidana. Ia merujuk pada Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai dasar hukum.
Menurut Vijai, proses penyelidikan kasus ini dimulai pada 24 Januari 2024. Selanjutnya, pada 14 Maret 2024, mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Risnaduar mengajukan pensiun dini. Pengembalian dana atas kelebihan pembayaran dilakukan oleh Risnaduar pada 18 Maret 2024.
Kemudian, Kejaksaan Negeri Katingan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan pada 15 Mei 2024. Berdasarkan rangkaian waktu tersebut, jaksa menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara dilakukan setelah proses hukum berjalan, sehingga tidak menghapus pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Tipikor.
“Pasal 4 UU Tipikor menyatakan dengan tegas bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Proses hukum tetap berjalan,” ujar Vijai.
Jaksa juga menekankan bahwa Ramang, meski tidak menentukan pemenang tender, tetap memiliki tanggung jawab dalam pengawasan teknis dan pencairan anggaran.
Dilain pihak Menurut kuasa hukum terdakwa, Wikarya F. Dirun peneratapn pasal 4 undang-undang tindak pidana Korupsi dalam perkara ini adalah keliru secara mendasar.
Ia menegaskan bahwa pasal 4 UU Tipikor tidak menghapus pidana, melainkan hanya memberikan kemungkinan meringankan hukuman, dan itu pun jika pengembalian kerugian negara dilakukan setelah proses penyidikan dimulai.
“Dalam kasus ini, fakta hukumnya jelas. Kelebihan pembayaran yang dijadikan dasar perhitungan kerugian negara telah dikembalikan sebelum surat perintah penyidikan (Sprindik) diterbitkan. Artinya, ketika proses penyidikan dimulai, sudah tidak ada lagi kerugian negara yang dimaksud. Maka penerapan pasal 4 tidak relevan dan justru salah kaprah,” tegas Wikarya.
Ia juga menyoroti konstruksi dakwaan yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum kuat. Semua tuduhan terhadap klienya hanya didasarkan pada satu orang saksi, yang secara hukum tidak memenuhi kualifikasi sebagai saksi yang sah, serta didukung dengan barang bakti yang tidak memiliki relevasi atau korelasi langsung dengan unsur perbuatan pidana yang didakwakan.
“Lagi pula konteks dengan dakwaan terhadap klien kami, jelas semuanya tidak berdasar, sebab semua perbuatan yang didakwakan hanya bertolak pada satu saksi yang dalam hukum satu saksi bukan saksi , serta didukung dengan barang bukti yang sama sekali tidak ada korelasinya,” tegasnya.
Kesaksian Risnaduar: Uang Rp300 Juta untuk Pejabat, Termasuk Mantan Bupati
Persidangan juga mengungkap fakta baru. Risnaduar mengaku menerima uang tunai Rp300 juta dari seseorang berinisial PU. Uang tersebut menurutnya kemudian dibagi kepada beberapa pihak, termasuk mantan Bupati Katingan Sakariyas
“Benar, saya serahkan uang itu ke Sakariyas,” ucap Risnaduar, memicu kejutan di ruang sidang.
Kuasa hukum Ramang meminta agar pernyataan ini ditindaklanjuti dan menjadi pintu masuk pengembangan kasus. Namun hingga kini, belum ada respons resmi dari pihak Kejaksaan.
Skema Pembagian Dana Dipertanyakan
Menurut Risnaduar, uang Rp300 juta dibagi sebagai berikut:
Rp125 juta untuk Sakariyas (mantan Bupati)
Rp25 juta untuk Ramang (PPK)
Rp10 juta untuk PPTK
Rp30 juta untuk bonus atlet Porprov
Rp20 juta untuk Hari Jadi Kabupaten
Sisanya disimpan sendiri
Namun, seluruh pembagian tersebut belum didukung bukti tertulis, dan Ramang secara tegas membantah menerima uang tersebut.
Sidang belum usai. Pada 3 Juli 2025 nanti, ketiga terdakwa akan membacakan nota pembelaan atau pledoi. Setelah itu, giliran jaksa menyampaikan replik, lalu duplik dari penasihat hukum, sebelum akhirnya hakim menjatuhkan putusan.
Publik menanti, apakah pengadilan benar-benar bisa menyingkap siapa yang paling bertanggung jawab dalam pusaran proyek GOR itu, atau hanya mengorbankan mereka yang lemah.
Seperti gorong-gorong yang mampet, keadilan mungkin hanya mengalir pada permukaan yang mudah dijangkau. Sisanya mengendap di dasar sistem yang keruh.
Penulis: Maulana Kawit