
INTIMNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah (Disbun Kalteng) mulai mengintensifkan pengawasan terhadap aktivitas operasional perusahaan besar swasta (PBS) sektor perkebunan.
Langkah ini diambil untuk mendorong optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satunya melalui pemetaan data penggunaan bahan bakar minyak (BBM), kendaraan, dan alat berat.
Kepala Disbun Kalteng, Rizky R Badjuri, menyampaikan hal itu dalam rapat koordinasi lintas lembaga yang digelar di Aula Disbun, Senin, 16 Juni 2025.
Hadir dalam rapat tersebut perwakilan Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
“Ini bagian dari tindak lanjut atas arahan Gubernur dan Sekretaris Daerah. Kami mulai lakukan penguatan data secara bertahap,” kata Rizky.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan data agar potensi PAD dari sektor perkebunan bisa digali lebih dalam.
Disbun telah membagi wilayah kerja ke dalam tiga zona: Barat, Tengah, dan Timur. Di zona Barat saja, terdata 104 PBS yang mengoperasikan lebih dari 2.800 kendaraan berpelat KH dan 1.431 unit alat berat.
“Langkah ini bukan sekadar pencatatan, tapi untuk mengidentifikasi kontribusi sektor ini terhadap PAD secara konkret,” ujar Rizky.
Ia menambahkan, data tersebut akan dijadikan dasar dalam menyusun skema pengawasan terpadu ke depan.
Di zona Tengah, yang mencakup Kapuas, Pulang Pisau, Katingan, Gunung Mas, dan sekitarnya, terdapat 49 PBS dengan sekitar 753 kendaraan serta 482 alat berat.
Sementara itu, zona Timur memiliki 20 PBS dengan lebih dari 1.000 kendaraan dan alat berat di atas 1.050 unit. Jika dijumlahkan, total alat berat yang beroperasi di seluruh zona mencapai 2.518 unit.
Rizky menyoroti angka tersebut sebagai potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap dari sisi fiskal daerah.
Dari aspek penggunaan BBM, zona Barat mencatat konsumsi tertinggi dengan nilai mencapai Rp85 miliar per bulan. Namun, Disbun menemukan kejanggalan pada beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 75 ton per jam yang tercatat menggunakan BBM lebih sedikit dari standar operasional.
“Kami perlu memverifikasi apakah ini karena efisiensi teknologi atau ada faktor lain,” ujar Rizky. Ia menegaskan, verifikasi akan dilakukan secara objektif dan mendalam.
Selain soal BBM, Rizky juga menyinggung masih lemahnya pelaksanaan program plasma dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) oleh sejumlah PBS.
Beberapa wilayah bahkan belum menjalankan program plasma sama sekali. Per akhir 2024, Disbun mencatat sebanyak 301 PBS memiliki izin, namun hanya 210 yang sudah operasional dengan total lahan mencapai 1,36 juta hektare.
Sementara itu, 99 perusahaan lainnya belum beroperasi meski telah mengantongi izin lahan seluas 1,9 juta hektare lebih.
“Kami juga sedang verifikasi status aktivitas mereka agar tidak ada lahan tidur yang hanya menjadi beban,” tegas Rizky. Ia menilai verifikasi ini penting untuk akuntabilitas tata kelola perkebunan.
Dari seluruh izin yang aktif, sekitar 244 ribu hektare atau 17,96 persen merupakan kebun milik masyarakat. Namun baru 132 PBS yang menjalankan program plasma. Sisanya, sebanyak 78 perusahaan, belum menunjukkan komitmen.
“Ini menjadi catatan serius kami, karena plasma merupakan kewajiban sosial PBS kepada masyarakat sekitar,” ujar Rizky.
Menurutnya, pengumpulan data ini bukan sekadar formalitas, tapi juga bagian dari penguatan tata kelola.
“Data ini nantinya bisa digunakan oleh Dispenda dan Badan Keuangan untuk optimalisasi PAD,” tuturnya.
Rizky menyebutkan, pihaknya akan terus memperkuat sinergi antarinstansi dan mendorong keterbukaan data dari PBS. “Tanpa koordinasi yang kuat, pengawasan tidak akan efektif,” katanya.
(MMC/Maulana Kawit)